Friday, October 12, 2007

Sejati


"Nita, katakanlah dengan jujur, karena rahasia tidak akan bisa menguraikan dirinya sendiri." Pinta Handoyo pada Nita dalam sebuah percakapan.

Nita diam sejenak sambil menarik nafas menenangkan diri.

"Jadi aku, Anita S. Anjani, selaku pemilik rahasia itu yang harus menguraikanya?" Tanya Nita.

"Jika kamu berkenan, jika tidak juga tidak apa-apa, karena kamu yang menyuruhku datang kesini mendengarkan keluh kesahmu dan memintaku masukan."

Nita masih juga diam, belum menguraikan rahasianya pada Handoyo, orang yang sedang menunggu uraian rahasianya. Sepenuhnya dia sadar bahwa rahasia itu harus diuraikan jika ingin ada pemecahan. Dia juga paham bahwa diam bukan penyelesaian. Namun demikian, ada gurita malu di kedalam palung kalbu. Sebab, bagaimanapun Handoyo mantan kekasihnya. Tapi itu dulu, sebelum Nita meninggalkanya dan melabuhkan jangkar harapan dari satu lelaki ke lelaki lain.

Handoyo menatap lekat sejenak makhluk perempuan yang ada di depanya, sebelum akhirnya ia sulut rokok kretek kesukaanya untuk mengusir dingin yang menyergap. Ia sorongkan batang rokok kretek dari dalam saku yang kini ada di mulutnya ke arah pijar nyala korek api yang ia hidupkan. Ia hisap perlahan sampai ke paru-paru. Ia hembuskan asap rokok dari dalam mulutnya yang membentuk bulatan-bulatan putih menunggangi udara.

"Nita, kamu gagal merajut harapan lagi?" Nada tanya Handoyo memecah diam.

"Sebenarnya rahasia kamu itu bukan rahasia lagi karena sudah menjadi konsumsi umum, dan yang umum itu siapapun akan menganggap bukan rahasia lagi. Sebab, ketika rahasia itu sudah dianggap konsumsi umum ia bukan lagi sesuatu yang tersembunyi, dan setiap yang tidak tersembunyi itu bukan rahasia lagi. Satu lagi, apa yang akan kamu ceritakan itu pasti sama seperti apa yang sudah aku dengar dari orang-orang." Ia menambahkan.

Merasa apa yang diucapkan Handoyo benar, Nita hanya menggigit bibirnya tanda ia mengiyakan tanya Handoyo. Tidak sedikitpun ia berpaling dan menyalahkan ucapan Handoyo.

"Sudah yang ke berapa kegagalanmu ini sejak kamu meninggalkanku saat itu, Nita?"

"Tidak ingat." Nita menggelengkan kepalanya.

"Gila kamu Nita! rentang waktu antara Januari dan Oktober adalah kurun waktu yang masih bisa di hitung dengan jari, tapi kamu sudah tidak ingat pelabuhan ke berapa yang kau singgahi terakhir ini. Benar-benar gila!" Handoyo hanya bisa menghela napas menunjukan keheranannya.

"Sudahlah, tidak usah membahas itu lagi. Aku membayar minuman dan makanan ini bukan untuk mendegarkan khotbah dan celoteh penghakiman atas laku yang telah aku perbuat. Aku butuh sharing dan berbagi," sergah Nita mengalihkan topik.

"Yo, kenapa apa yang aku inginkan dan aku lakukan tidak sesuai dengan apa yang didapat oleh orang lain, padahal, menurutku kehendak dan laku yang aku lakukan sama denga apa yang mereka lakukan?"

"Ya karena pekerjaan dan kristalisasi keringat yang sama tidak selalu menghasilkan nilai yang sama pula. Seperti hal nya murid dalam satu kelas, meskipun materi pelajaran yang diserap sama tapi toh akhirnya hasil cetakan dari materi tersebut menghasilkan produk yang berbeda-beda." Jawab Handoyo filosofis.

"Lalu dimana letak keadilan Tuhan, Yo? Bukankah adil itu adalah seimbang, tidak berat sebelah dalam artian sama? Lalu kenapa yang aku terima tidak sama dengan mereka, Yo?

"Tidak seharusnya kamu menyalahkan Tuhan hanya karena ketidaksamaan apa yang kamu peroleh dengan apa yang mereka dapatkan. Keadilan dan keseimbangan tidak selalu diukur dengan kesamaan, girl! Hati-hati Nita, kesalahan dalam mendefinisikan kata akan mengakibatkan kesalahan penafsiran dan perbuatan."

Lagi, keduanya diam. Handoyo asik bermain dengan asap sementara sesekali Nita kelihatan membetulkan jaket di tubuhnya yang diterpa angin. Lama keduanya sama-sama diam.

"Nita, sebenarnya apa yang kamu inginkan dari petualanganmu selama ini?"

"Sederhana saja Yo, aku ingi mencari lelaki sejati, itu saja. Cukup. Sederhana bukan?" Nita menjawab tanya sambil bertaya balik.

"Sampai kapan kamu akan berpetualang?"

"Yang jelas, aku telah, sedang dan akan terus berpetualang, tidak akan berhenti-henti sampai menemukan kekasih sejati dalam hidupku."

"Lantas, bagaimana kamu mengartikan hakekat kekasih sejati itu sendiri, Nita?"

Tidak ada jawaban dari Nita. Matanya menerawang ke udara Dia tertunduk malu karena merasa tidak mampu mengartikan hakekat kekasih sejati.. Ia hela napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan lagi. Ada resah gelisah bermain dalam hati dan pikiran. Ia baru sadar bahwa selama ini ia hanya mencari sesuatu yang ia sendiri tidak tahu hakekat sesuatu itu.

"Nita, selama kamu mengartikan kekasih sejati adalah dia yang tinggi semampai berbadan atletis, wajah tampan atau cantik rupawan dan hartawan, serta ia yang memiliki segudang kelebihan, selama itu pula kamu tidak akan menemukan kekasih sejati, karena yang demikian itu hanya kiasan cabang kebahagiaan. Kenapa demikian? Sebab kekasih sejati ialah dia yang datang dan mendatangi dengan segenap kerelaan. Ia adalah yang tulus memberikan cinta tanpa harap pamrih. Perumpamaan kekasih sejati adalah apa yang ditulis Sulaiman dalam suratnya kepada Bilqis. Ia adalah Adam dan Hawa, Muhammad dan Khadijah, serta Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Mereka adalah kekasih sejati karena memberi tanpa berharap. Kekasih sejati adalah ia yang melakukan untuk pasangannya secara total tidak setengah-setengah. Kekasih sejati ialah dia yang mencintai setulus dan seikhlas merpati. Nita, kamu tidak akan pernah menemukan kekasih sejati jika kamu hanya datang pada seseorang mengharapkan dari dia keikhlasan dan ketulusan sementara kamu sendiri tidak memberikan keikhlasan dan ketulusan itu padanya."

Malam semakin larut. Dingin tidak terlalu menggigit tapi perasaan kacau balau sejak beberapa waktu lalu masih menyisakan guratan warna gigitan masa yang Nita bunuh sendirian. Nita tersadar dari mimpi panjang perjalanan dalam sebuah petualangan. Betapa ia sadar bahwa apa yang ia lakukan selama dasawarsa ini adalah kesia-siaan tak berujung pangkal. Ia menyandarkan hasrat dan ingin pada tepian dangkal.

Madrasah, Egypt, 27-06-07/03:23

No comments: