Friday, October 12, 2007

Jangan Kapling Surga Tuhan


Ke-Bhinneka-an, Ittihad, dan Unity didalamnya pasti terdapat banyak ragam yang berbeda, kemudian karena keragaman tersebut perlu adanya sebuah wadah yag menampung demi kepentingan bersama maka dirumuskanlah suatu ideologi yang mengakomodir semua kepentingan sampai menemui satu titik temu yang tidak saling merugikan satu sama lain. Begitu juga adanya dengan Indonesia ketika merumuskan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sila pertama dari lima pancasila yang kita kenal. Pemilihan diksi ini dirasa lebih pas serta bisa diterima ketika itu dan lebih menjamin stabilitas negara dari perpecahan yang ada didepan mata.

Perumusan Pancasila bukan ditentukan oleh segelintir orang bodoh yang tidak tahu agama, melainkan dirumuskan oleh orang-orang yang tidak lagi diragukan kredibilitasnya baik dalam beragama, berbangsa, dan bernegara apalagi berpolitik. Maka aneh rasanya bila saat ini ada satu dua orang dan seterusnya yang menghendaki pancasila dirubah sebagai ideologi negara dan mencari ideologi lain. Selain perubahan pancasila sebagai ideologi, ada lagi isu yang tak kalah serunya, yakni perda syariat. Lebih anehnya lagi mayoritas ormas-ormas besar kebingungan ketika harus dibenturkan dengan perihal syariat pada tataran makro dan mikro. Pada tataran makro, ambil saja sample RUU APP rata-rata mereka setuju tapi yang menggelikan adalah ketika pada tataran mikro seperti halnya perda syariat itu sendiri mereka berbondong-bondong menolak.

Menurut hemat penulis, segala perbuatan manusia dalam kontek bernegara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dalam hal ini agama tentunya tidak usah di-legal-formal-kan, biarkan agama masing-masing berikut ideologi agama tersebut yang mengatur segala kegiatan yang ada kaitanya dengan keyakinan penganutnya. Sebab ada pemahaman yang harus dan perlu dipahami secara menyeluruh bahwa Indonesia bukanlah agama sebagai negara. Karena pada hakekatnya tak ada agama yang tidak lurus, semua lurus dan bukankah makna agama itu sendiri bila ditilik dari leksikal aslinya, sangsekerta, adalah peraturan yang mengatur manusia agar ”teratur” tidak amburadul. Bahkan kalau mau diteliti lebih jeli lagi antara satu agama dengan yang lain memilki pola aqidah yang hampir sama-kalau tidak boleh dikatakan sama. Misalnya, yang baik itu belum tentu baik menurut-Nya dalam Islam, di Hindu juga ada, rwa bhinneka namanya. Tuhan itu bukan laki-laki dan bukan pula perempuan, serta Tuhan itu selalu bergerak dan bekerja dalam Islam, dalam kontek siwa budha dan taksu di Hindu juga ada. Kalau umat Islam menganut konsep ummatan wahidatan, umat Hindu juga mengakui konsep ini. Satu lagi, di Islam ada istilah da’wah, ternyata umat Hindu juga mengakui konsep ini.Bedanya, da’wah Hindu tidak ditujukan untuk mencari pengikut baru.

Dalam dinamika kehidupan ini penulis lebih suka meminjam istilah ‘becik ketitik, olo ketoro’ dalam al-Quran. Jadi, tidak usah mengkapling surga dengan paspor kemunafikan. Surga itu surga tuhan, tidak ada hak kita mengkapling. Toh tendensi religion ideology formality juga tidak bisa menjamin kita bakal masuk surga. Apalagi polisi syariah, polisi adab dan polisi lainya. Bisa apa mereka? Apa mereka sudah merasa sebagai Tuhan yang bisa men-justifikasi perbuatan kemudian menentukan surga dan neraka mana bagi manusia? lha wong mereka sendiri masih manusia dan masih mencari justifikasi pembenaran kemanusiaanya. Kok aneh-aneh. Padahal man’s justification itu lain dengan God’s justification. Sedari itu, selama para pembuat perda syariat dan per per yang lain tidak bisa menjamin kesurgaan kita kelak tidak usah dipikir susah. Buang energi saja. Lebih baik kita berpikir dan berbicara untuk kepentingan yang lebih umum dan manfaatnya lebih besar, tidak hanya sekedar bagi segelintir, segerombolan dan bagi satu agama saja, melainkan untuk agama dan tentunya negara juga. Wallahu a’lam.

No comments: