Friday, October 12, 2007

Menyibak Probelmatika Tafsir Bi Al Ma'stur

Asersi

Agama sebagai pranata sosial yang mengatur kehidupan manusia agar hidup teratur dan tidak amburadul di dalamnya terdapat kitab sebagai undang-undang. Sebut saja Injil, Weda, Taurat, Zabur, dan juga al-Qur'an. Bahkan dalam Al-qur'an, kitab orang muslim serta pedoman dan sumber rujukan utama justifikasi hukum Islam, banyak sekali ditemukan ayat yang mensinyalir bahwa ia adalah kumpulan peraturan yang mengatur segala urusan manusia. Ini semua menegaskan bahwa memang kitab adalah unsur sangat penting dalam sebuah agama. Kitab adalah pegangan asasi bagi pemeluk sebuah agama, agama apapun itu.

Al-qur'an, rujukan pertama sebelum hadist, adalah respon Allah terhadap problematika kemanusiaan. Ia turun sebagai bentuk kepedulian Allah tehadap makhluk-Nya. Ia adalah bukti ke-Agungan dan ke-Murahan. Mengarahkan manusia kepada kebaikan. Menunjukan jalan yang benar. Menyelamatkan manusia dari kesesatan dan mengajak manusia kepada kebajikan serta mendorong manusia untuk progressif menuju terciptanya tatanan masyarakat yang ideal.

Namun demikian, al-Qur'an tidak serta merta memberikan gambarang penyelesaian sebuah masalah ketika masalah itu timbul secara jelas dan absolute Ini semua disebabkan karena ia adalah kalam ilahi, bukan kalam manusia, yang mana didalamnya terdapat disparitas yang mencolok antara pemahaman manusia dan kalam ilahi terhadap kata dan makna. Sedari itu perlu adanya seorang mufassir yang bertugas mengupas tuntas disparitas antara kata dan makna yang terkandung di dalamnya.

Urgensi penafsiran dan mufassir ini tidak lepas dari kandungan al-qur'an yang tidak semuanya bersifat eksplisit, namun implisit. Hal-hal yang bersifat implisit inilah yang perlu kirannya untuk di kaji dan dibedah makna yang tersimpan didalamnya. Selain itu karena bagian-bagian al-qur'an ada yang bersifat kompleks dan memerlukan penjabaran, semu yang memerlukan penjelasan, dan seterusnya.

Yang demikian itu diperlukan sebagai penguat posisi al-qur'an sebagai penjelas segala sesuatu. Maka dari itu, ketika al-Qur'an dirasa tidak bisa memberikan pemahaman secara gamblang diperlukan seorang mufassir yang bertugas mengupas tuntas permasalahan dan problematika makna dalam al-Qur'an. Dan, Muhammad adalah orangnya. Ditegaskan dalam buku Manual Qathan, sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab suci umat Islam dengan al-Qur'an karena kandungan isi al-Qur'an itu mencakup semua kitab-kitab lain bahkan semua ilmu. Ini menandaskan bahwa memang al-Qur'an penjelas segala sesuatu dan pegangan asasi tidak hanya bagi umat Islam, melainkan bagi seluruh alam.[1] Sesuai denga firman Allah, "Dan Kami telah menurunkan, al-Qur'an, kepadamu sebagai penjelasan segala sesuatu." (QS. Al-Nahl: 89)

Muhammad Intrepeter Tunggal

Muhammad, rasul dan nabi umat Islam, adalah mufassir tunggal al-Qur'an pada masanya. Semua problematika dan akumulasi permasalahan teks diserahkan dan dikemblaikan pada beliau. Dia pemegang absholute of frame referrence. Rujukan, jujukan dan referensi setiap sahabat dan semua umat Islam. Semua datang padanya ketika ada pemuaian ketidakjelasan teks, makna yang terkandung mengalami keburaman.

Eksegisi pada masa nabi adalah eksegisi pertama dalam sejarah perkembangan tafsir. Awal mula penafsiran ini muncul sebagai sebuah upaya menjembatani kesenjangan antara teks dan makna. Dan nabi berperan sebagai pemain utama dan berdiri di garda depan pada proses aktualisasi eksegisi teks-teks al-Qur'an. Ia penyibak makna terselebung dari untain dan petikan kalimat, lafadz, serta huruf-huruf al-Qur'an. Ia pengejawentah realita kejumudan komunitas manusia. Ia adalah jembatan penghubung serta pelibas sekat pembatas permainan teks. Dijelaskan dalam al-Qur'an, "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada kaumnya." (QS. Ibrahim: 04)

Dr. Abd. Ghafar Abd. Rahim menjelaskan, Muhammad diberi kesitimewaan berupa kemampuan hafalan dan penjelasan tentang isi kandungan al-Qur'an. Ia menandaskan bahwa pemahan ini berangkat dari ayat al-qur'an.[2] Dalam bukunya, ia memaparkan secara gamblang bahwa kemampuan menejelaskan itu tidak hanya secara global, juga secara terperinci.[3]

Salah satu sample bahwa Muhammad adalah rujukan primer dalam interpretasi al-Qur'an ialah saat ada problematika ma'na dhalim. Kemudian, ketika para sahabat kebingungan terhadap makna dhalim serta bertanya kepada rasul siapa diantara mereka yang tidak dhalim, rasulpun menjawab bahwa dzhalim disitu adalah syirik.

Contoh diatas adalah bukti ilmiah bahwa ada bagian-bagian al-Qur'an yang memang tidak bisa dijelaskan kecuali oleh Muhammad. Seperti halnya masalah perintah-perintah, larangan-larangan, hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah secara terperinci.[4] Dan, penafsiran-penafsiran nabi terhadap problematika al-Qur'an ini adalah awal mula munculnya tafsir. Penafsiran pada masa ini disebtu tafsir al-nabawi.

Terminologi Tafsir Bil Ma'stur

Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma'stur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur'an melalui "penukilan" yang termaktub dalam al-Qur'an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.

Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma'stur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama, menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Kedua al-Qur'an dengan hadist. Ketiga al-Qur'an dengan astar sahabat. Dan, keempat al-Qur'an dengan astar para tabiin.[5]

Sedangkan Dr. Shofwat, mendefinisikan tafsir bil bil ma'stur sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat suci al-Qura'n dengan cara "menukil" baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak. Adapun metode yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan diungkapkan oleh Dr. Ibrahim.[6]

Sementara itu, tafsir bil ma'stur dalam definisi Dr. Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur'an itu sendiri dan apa-apa yang "dinukil" dari nabi, sahabat, serta tabiin baik berupa penjelasan atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam al-Qur'an.[7]

Dia, Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil ma'stur menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi. Pada siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma'sur ialah, nabi menerangkan isi kandungan al-Qur'an kepada para sahabat tentang makna-makna yang rumit dan buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima riwayat langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan dengan perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang tafsir Qur'an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang berbicara tafsir Qur'an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing. Ini semua tidak lepas dari kemampuan nalar akal para sahabat yang disinyalir merasa mumpuni dalam rangka mengejawentahkan makna al-Qur'an. Bukan hanya para sahabat yang mulai berani menafsirkan al-Qur'an, tabiin pada masa dimana nabi sudah tiada dan para masa sahabat berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir. Maka kemudian mereka meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta membubuhinya dengan pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing. Demikianlah seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai ungkapan-ungkapan para tabiit tabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur'an semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.

Pada masa berikutnya dimulailah babak baru dalam diskursus interpretasi al-qur'an, sikluss kodifikasi, siklus dimana penafsiran al-Qur'an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini, penafsiran al-Qur'an mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum terkodifikasi secara rapi dan teratur, dan belum ada seorang pun yang membukukan penafsirannya. Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan bagian tersendiri dari hadist.

Nah, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadist dan dibubukukan secara spesifik. Seperti halnya apa yang terdapat dalam kodifikasi Ali Bin Abi Thalhah, triloginya Muhammad Bin Tsur dan ensiklopedianya Ibnu Jarir al-Thabari dengan varian yang berbeda-beda antara yang satu dan yang lainya.[8]

Dalam tafsir bil ma'stur, para ulama sepakat bahwa landasan utama dan sumber asasi sebagai acuan dalam proses eksegisi adalah al-Qur'an, hadits, atsar sahabat dan tabiin.

Problematika Tafsir Bil Ma'stur

a. Terminologi

Terminologi ilmiah dalam dunia keilmuan harus merupakan peristilahan yang jami' dan mani' agar tidak ada anasir-anasir yang membuat terminologi tersebut tergerus oleh kerancauan dan menghasilkan nilai yang sempurna, tidak ngambang seperti halnya terminologi tafsir bil ma'stur. Dalam hal ini ada dua hal yang menyebabkan terminologi tafsir bil ma'stur itu salah.

Pertama, karena penamaan tafsir itu sendiri dengan tafsir bil ma'stur, memasukkan kata "dinukil" yang mempunyai arti dari orang sebelumnya dan pembagian jenis tafsir bil ma'stur menjadi empat. Hal inilah yang menjadikan terminologi tafsir bil ma'stur ini menjadi tidak dalam serta kelihatan rancau. Kesalahan ini karena arti ma'stur itu sendiri adalah apa-apa yang diwarisi dari orang sebelumnya; nabi, sahabat dan para tabiit tabiin. Jika demikian adanya, bagaimana dengan jenis tafsir bil ma'stur yang masuk dalam klasifikasi al-qur'an dengan al-qur'an? Bukankah penafsiran tersebut bukan dan tidak berasal dari orang sebelumnya, melainkan datang dari makna al-qur'an itu sendiri? Bukankah penafsiran dalam al-qur'an tidak ada "penukilan"?

Kedua, karena tidak ada kejelasan atas apa yang "dinukil". Padahal, dalam dunia penafsiran sangat jelas dan gamblang bahwa tafsir bil ma'stur adalah penafsiran yang tidak mengedepankan rasio sama sekali. Ini menandaskan, bahwa jika ada sebuah interpretasi terhadap sebuah teks-teks al-qur'an dimana pada proses interpretasinya ada penggunaan anasir akal maka penafsiran tersebut disebut tafsir bil ra'yi. Disinilah letak ketidakjelasannya, karena para sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin, penafsiran mereka ada yang murni menukil dari penafsiran nabi yang kemudian dihukumi marfu' dan ada pula yang menggunakan ijtihad mereka yang kemudian dihukumi mauquf. Sementara, dalam tafsir bil ma'stur pengambilan atas keduanya tidak jelas. Disana cuma disebutkan, dari mayoritas definisi ulama terhadap tafsir bil ma'stur, "Yang dinukil dari al-Qur'an, hadist, sahabat, dan tabiin."

b. Sifat Akomodatif Tafsir Bil Ma'stur Terhadap Akal

Bila menilik kepada paparan ulama tentang sumber rujukan tafsir bil ma'stur, al-qur'an, hadist, sahabat, dan tabiin, maka disana akan ditemukan sumber yang tidak jauh beda dengan taf bil ra'yi. Karena kenyataannya sandaran dan pijakan yang dijadikan acuan para mufassir bil ra'yi juga tidak jauh beda dengan tafsir bil ma'stur. Lain dari itu, ternyata sumber-sumber yang dijadikan pijakan itu dalam menafsirkan teks-eks al-qur'an juga menggunakan piranti akal, baik nabi, sahabat, serta tabiin.[9] Yang mencengangkan lagi, perbedaan kemampuan akal para sumber-sumber tafsir ini juga menghadirkan varian warna tafsir yang berbeda. Dan, berbedaan dalam penafsiran teks-teks al-qur'an yang jelas dan pasti dipicu oleh perbedaan pendapat, sementara pendapat itu sendiri juga bersumber dari akal. Artinya, perbedaan penafsiran mereka terhadap teks-teks al-qur'an adalah perbedaan akal.

c. Regresifitas Tafsir Bil Ma'stur

Bukan keraguan lagi bila saat ini tafsir bil ma'stur berjalan ke belakang. Hal ini tidak lepas dari kelalaian para tabiin pada masa terpecah belahnya umat Islam menjadi Syiah, Khawarij dan Jumhur pada tahun 41 Hijriah. Karena ambisi keagamaan, politik dan kepentingan kelompok, mereka dengan mudah membuat hadist-hadits palsu dan kemudian menisbatkanya pada nabi. Tak pelak bila kemudian muncul hadist-hadist buatan yang tidak jelas diketahui jluntrungnya kemana.[10] Selain dari itu, para tabiin juga banyak yang menyandarkan sumber pengetahuan mereka terhdap teks-teks al-qur'an dalam penafsirannya kepada para ahli kitab; orang yahudi dan nashrani yang masuk Islam. Padahal jelas-jelas antara al-Qur'an, Taurat, serta Injil punya kaidah yang berbeda, meskipun pada hal-hal tertentu ada kesamaan.[11]

Penutup

Bicara masalah tektualitas berarti bicara masalah bahasa. membincang probleamtika bahasa secara langsung berarti juga membincang problematika makna, karena bahasa adalah simbol dan makna adalah esensi dari simbol tersebut. Dan, ketika mendiskusikan diskursus bahasa berarti sama artinya mendiskusikan sifat arbitrer pengguna bahasa. Artinya Allah, pengguna bahasa, punya sifat arbitrer dalam menggunakan simbol didalam menyampaikan makna dari simbol yang Dia pakai. Yang demikian inilah yang kemudian memunculkan kesenjangan antara kata dan makna atau antara simbol dan esensi. Beratnya, untuk melibas sekat pembatas antara kata dan makna guna mengambil esensi yang sebenarnya dari sebuah simbol harus menguasai banyak bahasa. Celakannya, bahasa yang harus dikuasai adalah bahasa Tuhan, bukan bahasa manusia. Sementara para nabi, sahabat, tabiin, serta tabiit tabiin dan seterusnya adalah manusia yang mencoba memahami dan menjelaskan makna dari simbol-sim,bol Allah.

Tafsir al-Qur'an (kalam ilahi), sebagaimana artinya, penjelasan, penerangan, dan penyingkapan terhadapa makna tektualitas yang buram, adalah hasil kreasi manusia yang kemudian coba didekati melalui pendekatan nalar guna menyingkap hakekat makna yang terselubung didalamnya untuk kemudian dijadikan pegangan hidup. Jadi, apapun bentuk penafsiran, ia adalah kreasi manusia serta akal dan sah-sah saja selama tidak ditarik-tarik ke arah kiri, kejelekan dan untuk kepentingan humanisme secara umum. Dan, tidak ada bentuk penafsiran kecual tafsir bil ra'yi. Wallahua'lamu bil al shawab.



[1] Manaul Qathan, Mabahis Fi Al Ulumi Al-Qur'an, maktabah Wahbah Kairo, Hal.15 Cet. 14, Th. 2007.

[2]. Al-qur'an al karim wa tarjamatu ma'anihi ila al lughah al indunisiah, DEPAG, QS. Al-Qiyamah ayat 18-19, Hal. 998.

[3] . Dr. Abd. Ghafar Abd. Rahim, Al-Imam Muhammad Abduh Wa Manhajatun Fi Al Tafsir, maktabah Darul Anshar Kairo, hal. 129. cet. 1, Th. 1400 H.

[4] . ibid, hal 130.

[5] Dr. Ibrahim Abd. Rahman Muhammad Khalifah, Dirasat Fi Manahiji Al Mufassirin, maktabah al-Azhar, Cet.1 Hal 49-50, Th. 1997

[6] Shafwat Bin Musthafa Khalilio Fitch, Al Tafsir Bil Ma'stur Ahammiyatuhu Wa Dhawabithuhu: Dirasat Tahbiqiyah Fi Surati Al Nisa, makatabah Darul Nasyr Lil Jamiat Mesir. Cet.1 hal. 22, Th.1999

[7] Dr. Husain Dzhabi, al tafsir wal mufassirun, maktabah darul hadist Kairo, Vol. 1 Hal. 137, Th. 2005

[8] Ibid.Hal. 137-138.

[9] Muhammad Husain Dzhabi, Ilmu Al Tafsir, maktabah Darul Ma'arif Kairo, hal. 19-29. tanpa tahun.

[10] Ibid, Hal. 43.

[11] Shafwat Bin Musthafa Khalilio Fitch, Al Tafsir Bil Ma'stur Ahammiyatuhu Wa Dhawabithuhu: Dirasat Tahbiqiyah Fi Surati Al Nisa, makatabah Darul Nasyr Lil Jamiat Mesir. Cet.1 hal. 51, Th.1999

No comments: