Wednesday, October 24, 2007

Nothing To Lose

Forgetting yesterday

Nothing should be lose way

Tomorrow must to be full

Get up! Do anything useful

Don't cry anywhere again boy!

Asrama Damai, 16-04

Sunday, October 14, 2007

Damai

Menguntit damai di bawah temaram

Berharap luka tidak melebam

Hanya satu pinta dilafadzkan

“Bila kasih Mu moga dilimpahkan?”

Asrama damai

Diam

Yang tersisa hanya diam

Membuka candela celah angan

Mengulit kenangan indah terpendam

Meraba hiba ketentraman

Tanya selalu saja datang

Di palung hati paling dalam

Kenapa ada gelisah di pedalaman?

Sedang hatiku ditutup pintu palang

Asarama damai

Gersang

Kering kerontang

Titian hanya bisa diterawang

Asrama retak, 25-09-06

Hambar

Yang tersisa hanya motivasi

Keinginan tanpa aplikasi

Asrama retak, 25-09-06

Friday, October 12, 2007

Sejati


"Nita, katakanlah dengan jujur, karena rahasia tidak akan bisa menguraikan dirinya sendiri." Pinta Handoyo pada Nita dalam sebuah percakapan.

Nita diam sejenak sambil menarik nafas menenangkan diri.

"Jadi aku, Anita S. Anjani, selaku pemilik rahasia itu yang harus menguraikanya?" Tanya Nita.

"Jika kamu berkenan, jika tidak juga tidak apa-apa, karena kamu yang menyuruhku datang kesini mendengarkan keluh kesahmu dan memintaku masukan."

Nita masih juga diam, belum menguraikan rahasianya pada Handoyo, orang yang sedang menunggu uraian rahasianya. Sepenuhnya dia sadar bahwa rahasia itu harus diuraikan jika ingin ada pemecahan. Dia juga paham bahwa diam bukan penyelesaian. Namun demikian, ada gurita malu di kedalam palung kalbu. Sebab, bagaimanapun Handoyo mantan kekasihnya. Tapi itu dulu, sebelum Nita meninggalkanya dan melabuhkan jangkar harapan dari satu lelaki ke lelaki lain.

Handoyo menatap lekat sejenak makhluk perempuan yang ada di depanya, sebelum akhirnya ia sulut rokok kretek kesukaanya untuk mengusir dingin yang menyergap. Ia sorongkan batang rokok kretek dari dalam saku yang kini ada di mulutnya ke arah pijar nyala korek api yang ia hidupkan. Ia hisap perlahan sampai ke paru-paru. Ia hembuskan asap rokok dari dalam mulutnya yang membentuk bulatan-bulatan putih menunggangi udara.

"Nita, kamu gagal merajut harapan lagi?" Nada tanya Handoyo memecah diam.

"Sebenarnya rahasia kamu itu bukan rahasia lagi karena sudah menjadi konsumsi umum, dan yang umum itu siapapun akan menganggap bukan rahasia lagi. Sebab, ketika rahasia itu sudah dianggap konsumsi umum ia bukan lagi sesuatu yang tersembunyi, dan setiap yang tidak tersembunyi itu bukan rahasia lagi. Satu lagi, apa yang akan kamu ceritakan itu pasti sama seperti apa yang sudah aku dengar dari orang-orang." Ia menambahkan.

Merasa apa yang diucapkan Handoyo benar, Nita hanya menggigit bibirnya tanda ia mengiyakan tanya Handoyo. Tidak sedikitpun ia berpaling dan menyalahkan ucapan Handoyo.

"Sudah yang ke berapa kegagalanmu ini sejak kamu meninggalkanku saat itu, Nita?"

"Tidak ingat." Nita menggelengkan kepalanya.

"Gila kamu Nita! rentang waktu antara Januari dan Oktober adalah kurun waktu yang masih bisa di hitung dengan jari, tapi kamu sudah tidak ingat pelabuhan ke berapa yang kau singgahi terakhir ini. Benar-benar gila!" Handoyo hanya bisa menghela napas menunjukan keheranannya.

"Sudahlah, tidak usah membahas itu lagi. Aku membayar minuman dan makanan ini bukan untuk mendegarkan khotbah dan celoteh penghakiman atas laku yang telah aku perbuat. Aku butuh sharing dan berbagi," sergah Nita mengalihkan topik.

"Yo, kenapa apa yang aku inginkan dan aku lakukan tidak sesuai dengan apa yang didapat oleh orang lain, padahal, menurutku kehendak dan laku yang aku lakukan sama denga apa yang mereka lakukan?"

"Ya karena pekerjaan dan kristalisasi keringat yang sama tidak selalu menghasilkan nilai yang sama pula. Seperti hal nya murid dalam satu kelas, meskipun materi pelajaran yang diserap sama tapi toh akhirnya hasil cetakan dari materi tersebut menghasilkan produk yang berbeda-beda." Jawab Handoyo filosofis.

"Lalu dimana letak keadilan Tuhan, Yo? Bukankah adil itu adalah seimbang, tidak berat sebelah dalam artian sama? Lalu kenapa yang aku terima tidak sama dengan mereka, Yo?

"Tidak seharusnya kamu menyalahkan Tuhan hanya karena ketidaksamaan apa yang kamu peroleh dengan apa yang mereka dapatkan. Keadilan dan keseimbangan tidak selalu diukur dengan kesamaan, girl! Hati-hati Nita, kesalahan dalam mendefinisikan kata akan mengakibatkan kesalahan penafsiran dan perbuatan."

Lagi, keduanya diam. Handoyo asik bermain dengan asap sementara sesekali Nita kelihatan membetulkan jaket di tubuhnya yang diterpa angin. Lama keduanya sama-sama diam.

"Nita, sebenarnya apa yang kamu inginkan dari petualanganmu selama ini?"

"Sederhana saja Yo, aku ingi mencari lelaki sejati, itu saja. Cukup. Sederhana bukan?" Nita menjawab tanya sambil bertaya balik.

"Sampai kapan kamu akan berpetualang?"

"Yang jelas, aku telah, sedang dan akan terus berpetualang, tidak akan berhenti-henti sampai menemukan kekasih sejati dalam hidupku."

"Lantas, bagaimana kamu mengartikan hakekat kekasih sejati itu sendiri, Nita?"

Tidak ada jawaban dari Nita. Matanya menerawang ke udara Dia tertunduk malu karena merasa tidak mampu mengartikan hakekat kekasih sejati.. Ia hela napas dalam-dalam kemudian ia hembuskan lagi. Ada resah gelisah bermain dalam hati dan pikiran. Ia baru sadar bahwa selama ini ia hanya mencari sesuatu yang ia sendiri tidak tahu hakekat sesuatu itu.

"Nita, selama kamu mengartikan kekasih sejati adalah dia yang tinggi semampai berbadan atletis, wajah tampan atau cantik rupawan dan hartawan, serta ia yang memiliki segudang kelebihan, selama itu pula kamu tidak akan menemukan kekasih sejati, karena yang demikian itu hanya kiasan cabang kebahagiaan. Kenapa demikian? Sebab kekasih sejati ialah dia yang datang dan mendatangi dengan segenap kerelaan. Ia adalah yang tulus memberikan cinta tanpa harap pamrih. Perumpamaan kekasih sejati adalah apa yang ditulis Sulaiman dalam suratnya kepada Bilqis. Ia adalah Adam dan Hawa, Muhammad dan Khadijah, serta Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Mereka adalah kekasih sejati karena memberi tanpa berharap. Kekasih sejati adalah ia yang melakukan untuk pasangannya secara total tidak setengah-setengah. Kekasih sejati ialah dia yang mencintai setulus dan seikhlas merpati. Nita, kamu tidak akan pernah menemukan kekasih sejati jika kamu hanya datang pada seseorang mengharapkan dari dia keikhlasan dan ketulusan sementara kamu sendiri tidak memberikan keikhlasan dan ketulusan itu padanya."

Malam semakin larut. Dingin tidak terlalu menggigit tapi perasaan kacau balau sejak beberapa waktu lalu masih menyisakan guratan warna gigitan masa yang Nita bunuh sendirian. Nita tersadar dari mimpi panjang perjalanan dalam sebuah petualangan. Betapa ia sadar bahwa apa yang ia lakukan selama dasawarsa ini adalah kesia-siaan tak berujung pangkal. Ia menyandarkan hasrat dan ingin pada tepian dangkal.

Madrasah, Egypt, 27-06-07/03:23

Menyibak Probelmatika Tafsir Bi Al Ma'stur

Asersi

Agama sebagai pranata sosial yang mengatur kehidupan manusia agar hidup teratur dan tidak amburadul di dalamnya terdapat kitab sebagai undang-undang. Sebut saja Injil, Weda, Taurat, Zabur, dan juga al-Qur'an. Bahkan dalam Al-qur'an, kitab orang muslim serta pedoman dan sumber rujukan utama justifikasi hukum Islam, banyak sekali ditemukan ayat yang mensinyalir bahwa ia adalah kumpulan peraturan yang mengatur segala urusan manusia. Ini semua menegaskan bahwa memang kitab adalah unsur sangat penting dalam sebuah agama. Kitab adalah pegangan asasi bagi pemeluk sebuah agama, agama apapun itu.

Al-qur'an, rujukan pertama sebelum hadist, adalah respon Allah terhadap problematika kemanusiaan. Ia turun sebagai bentuk kepedulian Allah tehadap makhluk-Nya. Ia adalah bukti ke-Agungan dan ke-Murahan. Mengarahkan manusia kepada kebaikan. Menunjukan jalan yang benar. Menyelamatkan manusia dari kesesatan dan mengajak manusia kepada kebajikan serta mendorong manusia untuk progressif menuju terciptanya tatanan masyarakat yang ideal.

Namun demikian, al-Qur'an tidak serta merta memberikan gambarang penyelesaian sebuah masalah ketika masalah itu timbul secara jelas dan absolute Ini semua disebabkan karena ia adalah kalam ilahi, bukan kalam manusia, yang mana didalamnya terdapat disparitas yang mencolok antara pemahaman manusia dan kalam ilahi terhadap kata dan makna. Sedari itu perlu adanya seorang mufassir yang bertugas mengupas tuntas disparitas antara kata dan makna yang terkandung di dalamnya.

Urgensi penafsiran dan mufassir ini tidak lepas dari kandungan al-qur'an yang tidak semuanya bersifat eksplisit, namun implisit. Hal-hal yang bersifat implisit inilah yang perlu kirannya untuk di kaji dan dibedah makna yang tersimpan didalamnya. Selain itu karena bagian-bagian al-qur'an ada yang bersifat kompleks dan memerlukan penjabaran, semu yang memerlukan penjelasan, dan seterusnya.

Yang demikian itu diperlukan sebagai penguat posisi al-qur'an sebagai penjelas segala sesuatu. Maka dari itu, ketika al-Qur'an dirasa tidak bisa memberikan pemahaman secara gamblang diperlukan seorang mufassir yang bertugas mengupas tuntas permasalahan dan problematika makna dalam al-Qur'an. Dan, Muhammad adalah orangnya. Ditegaskan dalam buku Manual Qathan, sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab suci umat Islam dengan al-Qur'an karena kandungan isi al-Qur'an itu mencakup semua kitab-kitab lain bahkan semua ilmu. Ini menandaskan bahwa memang al-Qur'an penjelas segala sesuatu dan pegangan asasi tidak hanya bagi umat Islam, melainkan bagi seluruh alam.[1] Sesuai denga firman Allah, "Dan Kami telah menurunkan, al-Qur'an, kepadamu sebagai penjelasan segala sesuatu." (QS. Al-Nahl: 89)

Muhammad Intrepeter Tunggal

Muhammad, rasul dan nabi umat Islam, adalah mufassir tunggal al-Qur'an pada masanya. Semua problematika dan akumulasi permasalahan teks diserahkan dan dikemblaikan pada beliau. Dia pemegang absholute of frame referrence. Rujukan, jujukan dan referensi setiap sahabat dan semua umat Islam. Semua datang padanya ketika ada pemuaian ketidakjelasan teks, makna yang terkandung mengalami keburaman.

Eksegisi pada masa nabi adalah eksegisi pertama dalam sejarah perkembangan tafsir. Awal mula penafsiran ini muncul sebagai sebuah upaya menjembatani kesenjangan antara teks dan makna. Dan nabi berperan sebagai pemain utama dan berdiri di garda depan pada proses aktualisasi eksegisi teks-teks al-Qur'an. Ia penyibak makna terselebung dari untain dan petikan kalimat, lafadz, serta huruf-huruf al-Qur'an. Ia pengejawentah realita kejumudan komunitas manusia. Ia adalah jembatan penghubung serta pelibas sekat pembatas permainan teks. Dijelaskan dalam al-Qur'an, "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada kaumnya." (QS. Ibrahim: 04)

Dr. Abd. Ghafar Abd. Rahim menjelaskan, Muhammad diberi kesitimewaan berupa kemampuan hafalan dan penjelasan tentang isi kandungan al-Qur'an. Ia menandaskan bahwa pemahan ini berangkat dari ayat al-qur'an.[2] Dalam bukunya, ia memaparkan secara gamblang bahwa kemampuan menejelaskan itu tidak hanya secara global, juga secara terperinci.[3]

Salah satu sample bahwa Muhammad adalah rujukan primer dalam interpretasi al-Qur'an ialah saat ada problematika ma'na dhalim. Kemudian, ketika para sahabat kebingungan terhadap makna dhalim serta bertanya kepada rasul siapa diantara mereka yang tidak dhalim, rasulpun menjawab bahwa dzhalim disitu adalah syirik.

Contoh diatas adalah bukti ilmiah bahwa ada bagian-bagian al-Qur'an yang memang tidak bisa dijelaskan kecuali oleh Muhammad. Seperti halnya masalah perintah-perintah, larangan-larangan, hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah secara terperinci.[4] Dan, penafsiran-penafsiran nabi terhadap problematika al-Qur'an ini adalah awal mula munculnya tafsir. Penafsiran pada masa ini disebtu tafsir al-nabawi.

Terminologi Tafsir Bil Ma'stur

Dr. Ibrahim mengungakapkan, definisi tafsir bil ma'stur adalah penafsiran dengan cara mencari makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur'an melalui "penukilan" yang termaktub dalam al-Qur'an, hadits, ungkapan para sahabat ataupu tabiin.

Dari definisi diatas kemudian dia merumuskan metode dan jenis tafsir bil ma'stur. Metode dan jenis yang dia paparkan tidak jauh dari pengertian yang dia jabarkan diatas. Pertama, menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Kedua al-Qur'an dengan hadist. Ketiga al-Qur'an dengan astar sahabat. Dan, keempat al-Qur'an dengan astar para tabiin.[5]

Sedangkan Dr. Shofwat, mendefinisikan tafsir bil bil ma'stur sebagai sebuah penafsiran ayat-ayat suci al-Qura'n dengan cara "menukil" baik nukilan itu mutawatir ataupun tidak. Adapun metode yang diungkapkan oleh dia sama dengan apa yang dipaparkan dan diungkapkan oleh Dr. Ibrahim.[6]

Sementara itu, tafsir bil ma'stur dalam definisi Dr. Husain Dzahabi adalah keterangan yang datang dari al-Qur'an itu sendiri dan apa-apa yang "dinukil" dari nabi, sahabat, serta tabiin baik berupa penjelasan atau keterangan terhadap maksud ayat-ayat Allah yang termaktub dalam al-Qur'an.[7]

Dia, Husain dzahabi, menjelaskan siklus tafsir bil ma'stur menjadi dua, yang pertama bil riwayah dan yang kedua siklus kodifikasi. Pada siklus riwayah, proses terjadinya tafsir bil ma'sur ialah, nabi menerangkan isi kandungan al-Qur'an kepada para sahabat tentang makna-makna yang rumit dan buram. Pada siklus ini ada juga para sahabat yang tidak menerima riwayat langsung dari nabi, melainkan dari sesama sahabat yang lain. Sejalan dengan perkembangan waktu ditemukanlah para sahabat yang berbicara tentang tafsir Qur'an dengan apa yang telah diterangkan oleh nabi, bahkan ada juga yang berbicara tafsir Qur'an bersandar dan berdasar pada akal masing-masing. Ini semua tidak lepas dari kemampuan nalar akal para sahabat yang disinyalir merasa mumpuni dalam rangka mengejawentahkan makna al-Qur'an. Bukan hanya para sahabat yang mulai berani menafsirkan al-Qur'an, tabiin pada masa dimana nabi sudah tiada dan para masa sahabat berakhir juga mulai melakukan pengembangan tafsir. Maka kemudian mereka meriwayatkan penafsiran dari nabi dan para sahabat serta membubuhinya dengan pendapat mereka sendiri melalui ijtihad masing-masing. Demikianlah seterusnya, tafsir mengalami obesitas dengan munculnya berbagai ungkapan-ungkapan para tabiit tabiin yang semakin membuat eksigisi al-Qur'an semakin gemuk dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.

Pada masa berikutnya dimulailah babak baru dalam diskursus interpretasi al-qur'an, sikluss kodifikasi, siklus dimana penafsiran al-Qur'an tidak hanya dari mulut ke mulut. Pada masa ini, penafsiran al-Qur'an mulai dibukukan, akan tetapi pembukuan pada masa ini belum terkodifikasi secara rapi dan teratur, dan belum ada seorang pun yang membukukan penafsirannya. Mereka hanya menulis bahwa apa yang mereka pahami merupakan bagian tersendiri dari hadist.

Nah, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadist dan dibubukukan secara spesifik. Seperti halnya apa yang terdapat dalam kodifikasi Ali Bin Abi Thalhah, triloginya Muhammad Bin Tsur dan ensiklopedianya Ibnu Jarir al-Thabari dengan varian yang berbeda-beda antara yang satu dan yang lainya.[8]

Dalam tafsir bil ma'stur, para ulama sepakat bahwa landasan utama dan sumber asasi sebagai acuan dalam proses eksegisi adalah al-Qur'an, hadits, atsar sahabat dan tabiin.

Problematika Tafsir Bil Ma'stur

a. Terminologi

Terminologi ilmiah dalam dunia keilmuan harus merupakan peristilahan yang jami' dan mani' agar tidak ada anasir-anasir yang membuat terminologi tersebut tergerus oleh kerancauan dan menghasilkan nilai yang sempurna, tidak ngambang seperti halnya terminologi tafsir bil ma'stur. Dalam hal ini ada dua hal yang menyebabkan terminologi tafsir bil ma'stur itu salah.

Pertama, karena penamaan tafsir itu sendiri dengan tafsir bil ma'stur, memasukkan kata "dinukil" yang mempunyai arti dari orang sebelumnya dan pembagian jenis tafsir bil ma'stur menjadi empat. Hal inilah yang menjadikan terminologi tafsir bil ma'stur ini menjadi tidak dalam serta kelihatan rancau. Kesalahan ini karena arti ma'stur itu sendiri adalah apa-apa yang diwarisi dari orang sebelumnya; nabi, sahabat dan para tabiit tabiin. Jika demikian adanya, bagaimana dengan jenis tafsir bil ma'stur yang masuk dalam klasifikasi al-qur'an dengan al-qur'an? Bukankah penafsiran tersebut bukan dan tidak berasal dari orang sebelumnya, melainkan datang dari makna al-qur'an itu sendiri? Bukankah penafsiran dalam al-qur'an tidak ada "penukilan"?

Kedua, karena tidak ada kejelasan atas apa yang "dinukil". Padahal, dalam dunia penafsiran sangat jelas dan gamblang bahwa tafsir bil ma'stur adalah penafsiran yang tidak mengedepankan rasio sama sekali. Ini menandaskan, bahwa jika ada sebuah interpretasi terhadap sebuah teks-teks al-qur'an dimana pada proses interpretasinya ada penggunaan anasir akal maka penafsiran tersebut disebut tafsir bil ra'yi. Disinilah letak ketidakjelasannya, karena para sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin, penafsiran mereka ada yang murni menukil dari penafsiran nabi yang kemudian dihukumi marfu' dan ada pula yang menggunakan ijtihad mereka yang kemudian dihukumi mauquf. Sementara, dalam tafsir bil ma'stur pengambilan atas keduanya tidak jelas. Disana cuma disebutkan, dari mayoritas definisi ulama terhadap tafsir bil ma'stur, "Yang dinukil dari al-Qur'an, hadist, sahabat, dan tabiin."

b. Sifat Akomodatif Tafsir Bil Ma'stur Terhadap Akal

Bila menilik kepada paparan ulama tentang sumber rujukan tafsir bil ma'stur, al-qur'an, hadist, sahabat, dan tabiin, maka disana akan ditemukan sumber yang tidak jauh beda dengan taf bil ra'yi. Karena kenyataannya sandaran dan pijakan yang dijadikan acuan para mufassir bil ra'yi juga tidak jauh beda dengan tafsir bil ma'stur. Lain dari itu, ternyata sumber-sumber yang dijadikan pijakan itu dalam menafsirkan teks-eks al-qur'an juga menggunakan piranti akal, baik nabi, sahabat, serta tabiin.[9] Yang mencengangkan lagi, perbedaan kemampuan akal para sumber-sumber tafsir ini juga menghadirkan varian warna tafsir yang berbeda. Dan, berbedaan dalam penafsiran teks-teks al-qur'an yang jelas dan pasti dipicu oleh perbedaan pendapat, sementara pendapat itu sendiri juga bersumber dari akal. Artinya, perbedaan penafsiran mereka terhadap teks-teks al-qur'an adalah perbedaan akal.

c. Regresifitas Tafsir Bil Ma'stur

Bukan keraguan lagi bila saat ini tafsir bil ma'stur berjalan ke belakang. Hal ini tidak lepas dari kelalaian para tabiin pada masa terpecah belahnya umat Islam menjadi Syiah, Khawarij dan Jumhur pada tahun 41 Hijriah. Karena ambisi keagamaan, politik dan kepentingan kelompok, mereka dengan mudah membuat hadist-hadits palsu dan kemudian menisbatkanya pada nabi. Tak pelak bila kemudian muncul hadist-hadist buatan yang tidak jelas diketahui jluntrungnya kemana.[10] Selain dari itu, para tabiin juga banyak yang menyandarkan sumber pengetahuan mereka terhdap teks-teks al-qur'an dalam penafsirannya kepada para ahli kitab; orang yahudi dan nashrani yang masuk Islam. Padahal jelas-jelas antara al-Qur'an, Taurat, serta Injil punya kaidah yang berbeda, meskipun pada hal-hal tertentu ada kesamaan.[11]

Penutup

Bicara masalah tektualitas berarti bicara masalah bahasa. membincang probleamtika bahasa secara langsung berarti juga membincang problematika makna, karena bahasa adalah simbol dan makna adalah esensi dari simbol tersebut. Dan, ketika mendiskusikan diskursus bahasa berarti sama artinya mendiskusikan sifat arbitrer pengguna bahasa. Artinya Allah, pengguna bahasa, punya sifat arbitrer dalam menggunakan simbol didalam menyampaikan makna dari simbol yang Dia pakai. Yang demikian inilah yang kemudian memunculkan kesenjangan antara kata dan makna atau antara simbol dan esensi. Beratnya, untuk melibas sekat pembatas antara kata dan makna guna mengambil esensi yang sebenarnya dari sebuah simbol harus menguasai banyak bahasa. Celakannya, bahasa yang harus dikuasai adalah bahasa Tuhan, bukan bahasa manusia. Sementara para nabi, sahabat, tabiin, serta tabiit tabiin dan seterusnya adalah manusia yang mencoba memahami dan menjelaskan makna dari simbol-sim,bol Allah.

Tafsir al-Qur'an (kalam ilahi), sebagaimana artinya, penjelasan, penerangan, dan penyingkapan terhadapa makna tektualitas yang buram, adalah hasil kreasi manusia yang kemudian coba didekati melalui pendekatan nalar guna menyingkap hakekat makna yang terselubung didalamnya untuk kemudian dijadikan pegangan hidup. Jadi, apapun bentuk penafsiran, ia adalah kreasi manusia serta akal dan sah-sah saja selama tidak ditarik-tarik ke arah kiri, kejelekan dan untuk kepentingan humanisme secara umum. Dan, tidak ada bentuk penafsiran kecual tafsir bil ra'yi. Wallahua'lamu bil al shawab.



[1] Manaul Qathan, Mabahis Fi Al Ulumi Al-Qur'an, maktabah Wahbah Kairo, Hal.15 Cet. 14, Th. 2007.

[2]. Al-qur'an al karim wa tarjamatu ma'anihi ila al lughah al indunisiah, DEPAG, QS. Al-Qiyamah ayat 18-19, Hal. 998.

[3] . Dr. Abd. Ghafar Abd. Rahim, Al-Imam Muhammad Abduh Wa Manhajatun Fi Al Tafsir, maktabah Darul Anshar Kairo, hal. 129. cet. 1, Th. 1400 H.

[4] . ibid, hal 130.

[5] Dr. Ibrahim Abd. Rahman Muhammad Khalifah, Dirasat Fi Manahiji Al Mufassirin, maktabah al-Azhar, Cet.1 Hal 49-50, Th. 1997

[6] Shafwat Bin Musthafa Khalilio Fitch, Al Tafsir Bil Ma'stur Ahammiyatuhu Wa Dhawabithuhu: Dirasat Tahbiqiyah Fi Surati Al Nisa, makatabah Darul Nasyr Lil Jamiat Mesir. Cet.1 hal. 22, Th.1999

[7] Dr. Husain Dzhabi, al tafsir wal mufassirun, maktabah darul hadist Kairo, Vol. 1 Hal. 137, Th. 2005

[8] Ibid.Hal. 137-138.

[9] Muhammad Husain Dzhabi, Ilmu Al Tafsir, maktabah Darul Ma'arif Kairo, hal. 19-29. tanpa tahun.

[10] Ibid, Hal. 43.

[11] Shafwat Bin Musthafa Khalilio Fitch, Al Tafsir Bil Ma'stur Ahammiyatuhu Wa Dhawabithuhu: Dirasat Tahbiqiyah Fi Surati Al Nisa, makatabah Darul Nasyr Lil Jamiat Mesir. Cet.1 hal. 51, Th.1999

Wajah Bangsaku

Hutanku arang

Tanahku gersang

Danauku kering

Lautku muntah

Bumiku pecah

Negaraku berdarah

Ada yang tertinggal setelah kehilangan

Ada yang hilang setelah meninggalkan

Pelacurku intelek

Bapakku berengsek

Ilmuanku congek

Pejabatku hasil konpensasi

Rakyatku repotnasi

Ulama’ku juga basa basi

Oh …… lumuran darah

Memerah, merebak di tanah pertiwiku

Demokrasi hanya selogan

Eksistensi hanya idealisme picisan

Demokrasiku telah mati

Demokrasiku telah mati

Bendera setengah tiang

Untuk demokrasi yang telah mati

Asrama Retak, 18-08-06

Keputusan

Kau,

Adalah tatalaksana

Dari setiap jengkal perintahku

Tak boleh siapa menggugat,

Karena aku adalah keputusan

Membanding antara Karya dan Mahasiswa

Masisir adalah cerminan kaum terpelajar, ia adalah mahasiswa, gerbong garda depan kum intelek. Ia adalah gerombolan pemuda-pemuda yang hidup di lumbung ilmu dan pusat keilmuan, Mesir. Masisir, semestinya, adalah potret geliat dinamika keilmuan yang dinamis. Dengan berbagai fasilitas penunjang yang mendukung, sarana dan prasarana yang memadai, serta berbagai kemudahan akses yang dimiliki, tak salah bila Mesir, lebih spesifiknya lagi Al-zahar, telah menghadirkan dan memunculkan tokoh-tokoh kaliber dunia berikut karya-karya kanonikalnya.

Namun demikian, sungguh, saat ini adalah masa yang sangat sulit untuk menyepadankan serta mensejajarkan antara karya dan mahasiswa, masisir. Kalaupun toh bisa, hasilnya akan memaksakan. Mahasiswa sekarang lebih cenderung kepada hal-hal yang berbau instan dan pragmatis. Sulit sekali menemukan mehasiswa yang produktif berkarya. Mahasiswa sekarang ini sulit untuk dikatakan sebagai kaum intelek. Lebih tepat bila mahasiswa saat ini disepadankan dengan gaya hidup hedonis. Lihat di berbagai tempat, mahasiswa lebih kelihatan asyik bermain sms, bagus-bagussan handphone, cerita gebetan masing-masing, chating dan lain-lain ketimbang membahas barbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Mungkin kalimat-kalimat ini berlebihan, padahal, inilah sesungguhnya.

Dengan melihat pada aktivitas dan kuantitas lomba yang banyak diselenggarakan oleh berbagai macam organisasi dan sedikitnya jumlah peserta lomba, lebih-lebih pada pada pagelaran lomba yang berskala umum dan luas, memakai hitung-hitungan kasat mata saja sudah dapat ditebak kemunduran tradisi ilmiah masisir. Dan apa yang telah mereka lakukan tidak bisa dikatakan sebagai bentuk perwakilan akan sebuh kemajuan. Tetap kemunduran, karena ia bukan refleksi kemajuan itu sendiri. Kalau mahasiswa yang mengikuti itu separuh saja, bisa dikatakan tradisi ilmiah itu mulai maju, meski belum sampai pada tataran maju.

Bukti lebih jelasnya lagi lihat di setiap organisasi, dengan tidak memungkiri apa yang telah dilakukan oleh beragam organisasi ke-mahasiswaan, mulai dari kekeluargaan, almamater, ormas, PPMI, sampai yang independen, tapi tetap saja apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan tradisi ilmiah. Apa pasal? Karena gerakan mereka hanya berkutat pada tataran praksis yang lebih mengedepankan pada pemenuhan struktural sebagai alat kelengkapan organisasi ketimbang pada pengembangan. Ini yang patut dicermati. Sebab, dari sekian banyak anggota, bisa dipastikan yang hadir dan mengikuti acara-acara yang berbau keilmuan tidak pernah mencapai angka 10% dari keseluruhan anggota. Ironisnya, anggota bagiannya saja kadang enggan hadir apalagi yang bukan bagianya, lebih parah lagi. Naif. Hal seperti inilah yang semakin menegasikan bahwa, memang, mahasiswa sangat jauh dari tradisi ilmiah. Tak pelak bila saat ini, dari jumlah kurang lebih empat ribu mahasiswa, mencari karya ilmiah sama sulitnya mencari jarum ditumpukan jerami. Benar-benar kontras bila dikorelasikan dengan dimana mahasiswa kini berada, di lumbung ilmu dan kiblat peradaban, Mesir. Setidaknya, fenomena yang demikian ini menggambarkan bahwa mahasiswa saat ini adalah cerminan mahasiswa yang "gagap menulis dan buta membaca". Malas. Ia bukan gerbong pembaharuan, ia tidak pantas lagi disebut sebagai agen of change. Meskipun karya bukan satu-satunya tolak ukur.

Celakanya, tradisi ilmiah yang sudah sedemikian ini ditambah lagi dengan sistem "bebas lepas" Al-azhar. Mau maju silahkan, mau mundur juga silahkan. Akhirnya, yang bisa ditemukan adalah hanya segelintir orang yang benar-benar intens dalam dunia ilmiah. Bisa jadi, yang begitu itulah yang menyebabkan mahasiswa berubah orientasi. Ada yang menekuni bisnis dan lain-lain.

Pergerseran dan fenomena yang seperti ini, memang, tidak bisa serta merta dicari kambing hitamnya. Karena mencari kambing hitam itu sulit, bisa saja kambingnya ketemu tapi "yang hitam" tidak ketemu. Yang jelas dan pasti pergeseran itu ada dan menjurus ke arah regresifitas. Sekarang tinggal bagaimana tiap individu menyadari dan memahami, masuk kedalam kategori manakah ia? Ke arah progresifitas tradisi ilmiah atau malah sebaliknya. Kemudian, jika kesadaran dan pemahaman ini sudah timbul, tinggal bagaimana menentukan langkah pengembangannya dengan bergandengan tangan serta bahu membahu. Wallahu a'lamu bi al-shawab.

“Menikam” al-Qur’an dengan Sastra;

(Usaha Untuk Mencari “Makna Lebih” dari al-Qur’an)*


Mukaddimah

SUDAH jamak diketehaui bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat nabi Muhammad. Namun seiring dengan perkembangan zaman, maka perlu rasanya sedikit mengungkap “makna lebih” yang tersirat dari kitab tersebut: baik dari sisi harfiyah maupun bathiniyah. Maksudnya tiada lain adalah, I’jaz bisa saja diraba melalui teks luar ataupun dari dalam teks itu sendiri. Ada satu pemahaman dimana sebagian ulama klasik melihat I’jaz teks dari luarnya saja (menyamakan teks dengan teks lain seperti puisi dan sajak, atapun prosa). Pendapat mereka ini mengacu pada stililistik, phrase, dan sajak yang tesirat hitam di atas putih. Namun, pendapat ini dibantah oleh kelompok yang mengatakan jika dilihat dari sisi stililistik, phrase dan sajaknya saja maka, akan ada kejumudan teks ketika harus berdialektika dengan realitas. Sedari itu, untuk mengintai makna lebih dari al-Qur’an tidak hanya harus dari sesi luarnya saja, melainkan turut juga dari dalam. Hingga kini perseteruan keduanya belum berujung. [1]

Meski demikian, ada hal yang menggelitik dan sepertinya layak untuk digugat guna mencari “makna lebih” dari teks melalui jendela sastra. Di sini, bukan berarti menjadikan sastra sebagai tolak-ukur makna I’jaz teks karena al-Qur’an mempunyai segi yang lebih unggul dibandingkan teks lain. Akan tetapi mecoba menyibak celah sedikit untuk mengintai makna lebih dari teks melalui kaca mata sastra dengan menjadikan sastra hanya sebagai medium saja, bukan tolak ukur. Nah, dengan pemahaman seperti ini, teks coba didekati melalui kebebasan seni. Pun juga, sastra yang dimaksud di sini tidak terikat pada bingkai makna sastra sebagai puisi dan sajak, melainkan makna sastra “secara luas” yang tidak hanya terbatas pada puisi dan sajak saja. Pemahaman seperti ini berangkat dari keprihatinan akan sebuah realita dimana teks pada abad belakangan ini cenderung mati dan tidak bisa berdialektika menjawab tantangan zaman. Teks hanya diam bagaikan unmoving matter yang terperangkap dalam ruangan sempit yang “pengap” di bawah temaram bola lampu 5 watt. Padahal, teks sebagai rujukan pertama dalam justifikasi berbagai masalah. Selain itu, al-Qur’an juga sebagai sumber hukum yang seharusnya langgeng dan sesuai dengan perkembangan zaman. Maka, salah satu ayat al-Qur’an yang coba didekati lewat metode ini ayat kedua dari surat pertama: al-Fâtihah.

Telisik Makna Ayat

Guna memulai bahasan ini, penulis elegan untuk mengkaji ayat kedua dari surat al-Fâtihah. Kiranya ayat tersebut pantas untuk dijadikan bahan kajian dan renungan. Sebab, selama ini orang hanya menikmati ayat ini terbatas dari segi stililistiknya; mengaguminya serta mensakralkanya namun di balik itu mereka cenderung menelantarkannya tanpa pernah mecoba untuk mengurai makna yang terkandung dalam untaian kata-kata indahnya. Tak salah bila sikap acuh tak acuh terhadap riset al-Qur’an menimbulkan semacam “kematian ayat”. Padahal, risetlah yang menjadikan segalanya bermakna; risetlah yang menjadikan teks al-Qur’an (dan juga hadith) itu mampu hidup. Tanpa riset, seluruh teks akan terasa kaku dan mati. Bukan al-Qur’an dan Allah yang salah bila teks tidak bisa menjawab persoalan umat dan dunia, melainkan manusianya sebagai pelakunya, dia lah yang salah dan patut disalahkan. Namun sebelum memaknai ayat kedua al-Fâtihah lebih lanjut, terlebih dahulu di sini menyinggung aspek pemaknaan menurut sudut pandang para ulama klasik.

Kata “al-hamd-u” dalam pembuka surat al-Fâtihah oleh Imam Zamakhsari disinonimkan dengan “al-madh-u” (pujian, dan “al-madh-u” mempunyai lagi persamaan seperti “al-tsanâ-u” dan “al-nidâ’” ) terhadap Dzat Tuhan bagi segala nikmat yang Ia berikan, tidak sebatas pada makna syukur karena syukur adalah lafadz khusus yang diekspresikan lewat hati dan perbuatan. Sementara “al-hamd-u” lebih luas dari itu.[2] Imam Zamakhsari tidak menelisik makna kata setelahnya, akan tetapi langsung loncat kepada lafadz terahir, yakni “al-`âlamîn”. Ia mendefinisikan makna kata “al-`âlamîn”. Sebagai sebuah nama yang mempunyai pengetahuan tentang segala hal pada makhluknya. Singkatnya, lafadz itu terbentuk dengan sifat yang ada di dalamnya: yakni, yang menunjuk makna pengetahuan.[3] Imam Zamakhsari hanya berhenti disitu tanpa memberi penjelasan lebih rinci.

Pemaknaan Imam Zamakhsari terhadap kalimat “al-hamd-u” sama dengan Imam Ali Shabuni. Akan tetapi dia berbeda dengan Zamakhsyari dalam definisi makna “al-`âlamîn”. Imam Ali Shabuni mendefinisikannya sebagai semua makhluk: baik yang ada di bumi dan langit; berbentuk atau tidak berbentuk dan; yang nyata dan tidak nyata.[4] Dari pandangan kedua ulama tadi terlihat begitu mencolok karena Imam Zamakhsyari berangkat dari analisa bahasa sedangkan Imam Ali Shabuni tidak. Ayat kedua dari surat al-Fâtihah itu bila diterjemahkan kedalam bahasa kita Indonesia, “segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.” Selain dua ulama tersebut, juga ada ulama lain seperti: Abu Farra dan Abu Ubaidah yang membatasi makna “al-`âlamîn” hanya pada sesuatu yang berakal. Ini berarti binatang tidak termasuk dalam klasifikasi.

Bila sudi berhenti sejenak dalam memahami teks tadi, dan coba kita merenung sekejap, maka akan ditemukan sebuah kejumudan dan kematian terhadap makna teks. Karena teks tadi hanya sebatas indah pada stililistik, phrase, dan sajaknya saja, sementara tidak ada hal baru yang bisa diambil kecuali ayat itu “terlantar” tanpa pernah mencoba mengadakan interpretasi-ulang agar ada rekonstruksi pemaknaan dengan tujuan memberanikan diri minyingkap apa sebenarnya “makna lain” yang terkandung dari ayat ber-genre Ilahiyat tersebut. Padahal dalam pandangan Rafi’ie, asas pertama dalam sastra yang benar adalah mampu menciptakan tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Menyelam Ke Dalam Ayat

Sekarang coba menggunakan bahan bangunan dari seni sastra, dimana makna interpretasi ayat dari ulama klasik untuk sementara disimpan dengan memberikan makna “al-`âlamîn” sebagai “Dzat Yang Mahatahu” bukan makhluk sebagaimana dipahami selama ini. Setelah dianologikan dan diurai dari lafadz pertama sampai “al-`âlamîn”. Dengan begini mari kita mencoba melangkah sedikit ke depan.

Dalam buku “Nadzriyah Adab al-Mu`âsirah” karangan Roman Selden, Roman ini menjelaskan bahwa antara penulis dan pembaca ada keterikatan baik melalui kode kata, tulisan, dan kontak interaksi keduanya. Selain itu, ia juga menjelenterehkan bahwa penulis sebagai daya agitasi kepada penerima melalui penuturan, perasaan dan keterangan.[5] Mengacu pada teori ini, maka coba sekali lagi menelaah makna-makna terdahulu dari ulama klasik. Apakah ada semacam agitasi, hasutan, ataupun keterikatan baik melalui kode, tulisan, dan penuturan antara pemilik teks dan pembaca teks?

Bandingkan jika mencoba memaknai teks lafadz tadi sebagai Dzat Yang Mahatahu, maka secara langsung bisa diambil benang merah dan hikmah yang lebih tinggi dari pemaknaan yang pertama. Benang merah itu adalah, mengakui bahwa Allah adalah Dzat Yang Mahatahu maka Dia harus dihormati dan dipuji, karena Allah mempunyai sifat Mahatahu, sewajarnya bila mahkluk ciptaan-Nya terutama manusia mengikuti petunjuk dari teks itu dengan mengedepankan anggapan bahwa teks itu untuk manusia bukan untuk Allah dan Allah di situ hanya sebagai symbol yang patut dicontoh. Selain itu, Allah disembah karena dia Dzat Mahatahu, sedari itu jika ingin dihormati dan dipuji maka harus berilmu. Semacam ada hikmah dan hukum yang terkandung didalamnya dengan menafsirkan ayat seperti ini. Dan, ini semua sangat berguna bagi manusia, sebab manusia bisa mengambil sesuatu yang berharga selain pemahaman Ilahiyat teks tadi. Lebih luas dan tidak sempit serta terbatas.

Apa yang dipaparkan ini sesuai dengan asas bangunan sastra yang diungkapkan oleh Rafi’ie, dia mengatakan bahwa sastra yang benar (Arab: al-haq) adalah sastra yang memberikan kebaikan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat, tidak membodohkan serta membimbing ke arah progresifitas bukan regresifitas, itu yang pertama. Dan kedua: menggali makna I’jaznya melalui kajian terhadap pembuat karya dan seni karyanya.[6] Pola pemahan seperti ini berarti tetap menjaga universalitas al-Qur’an karena kitab suci itu memang harus selalu universal dan cocok dengan kehidupan makhluk selamanya sebagai karya sastra yang agung.[7] Kebenaran ini relatif, bisa salah dan benar. Karena semua mahluk pada hakekatnya hanya mencoba mendekati makna teks untuk mengetahui makna yang sebenarnya dari sangat pembuat teks. Wallâh-u A`lam-u bi al-Shawâb.

IKBAL, 27 Februari 2007



* Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi SUKSES, 28 februari 2007.

** Mahasiswa Ushuluddin Al-Azhar University Tk. II. Sekarang menjadi peneliti lepas di AC (AVERROES Community) program “Proyek Kongkret Humanisme”.

[1] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, ter: Khoiron Nadliyin, Yogyakarta: LKIS, cet. I, 2001, hal. 184-210

[2] Imam Zamakhsyari, al-Kassyâf, juz I, Cairo: Maktabah Misr, (tanpa tahun), hal. 15-16

[3] Ibid., hal. 17

[4] Ali Shabuni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, juz I, Cairo: Dar al-Shabuni, cet. I, 1999, hal. 17-19

[5] Selden Roman, Nadzriyah Adabiyah al-Muâ`sirah, ter: Jabir Usfur, Cairo: Dâr al-Fikr, cet. I 1991, hal. 17

[6] Hijazi Shabir Jalal, Fî al-Âdâb al-Islâmî, Cairo: Dâr al-Kutub, cet. I, (tanpa tahun), hal. 53

[7] Ibid., hal. 13

Jangan Kapling Surga Tuhan


Ke-Bhinneka-an, Ittihad, dan Unity didalamnya pasti terdapat banyak ragam yang berbeda, kemudian karena keragaman tersebut perlu adanya sebuah wadah yag menampung demi kepentingan bersama maka dirumuskanlah suatu ideologi yang mengakomodir semua kepentingan sampai menemui satu titik temu yang tidak saling merugikan satu sama lain. Begitu juga adanya dengan Indonesia ketika merumuskan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sila pertama dari lima pancasila yang kita kenal. Pemilihan diksi ini dirasa lebih pas serta bisa diterima ketika itu dan lebih menjamin stabilitas negara dari perpecahan yang ada didepan mata.

Perumusan Pancasila bukan ditentukan oleh segelintir orang bodoh yang tidak tahu agama, melainkan dirumuskan oleh orang-orang yang tidak lagi diragukan kredibilitasnya baik dalam beragama, berbangsa, dan bernegara apalagi berpolitik. Maka aneh rasanya bila saat ini ada satu dua orang dan seterusnya yang menghendaki pancasila dirubah sebagai ideologi negara dan mencari ideologi lain. Selain perubahan pancasila sebagai ideologi, ada lagi isu yang tak kalah serunya, yakni perda syariat. Lebih anehnya lagi mayoritas ormas-ormas besar kebingungan ketika harus dibenturkan dengan perihal syariat pada tataran makro dan mikro. Pada tataran makro, ambil saja sample RUU APP rata-rata mereka setuju tapi yang menggelikan adalah ketika pada tataran mikro seperti halnya perda syariat itu sendiri mereka berbondong-bondong menolak.

Menurut hemat penulis, segala perbuatan manusia dalam kontek bernegara yang berkaitan dengan kepercayaan yang dalam hal ini agama tentunya tidak usah di-legal-formal-kan, biarkan agama masing-masing berikut ideologi agama tersebut yang mengatur segala kegiatan yang ada kaitanya dengan keyakinan penganutnya. Sebab ada pemahaman yang harus dan perlu dipahami secara menyeluruh bahwa Indonesia bukanlah agama sebagai negara. Karena pada hakekatnya tak ada agama yang tidak lurus, semua lurus dan bukankah makna agama itu sendiri bila ditilik dari leksikal aslinya, sangsekerta, adalah peraturan yang mengatur manusia agar ”teratur” tidak amburadul. Bahkan kalau mau diteliti lebih jeli lagi antara satu agama dengan yang lain memilki pola aqidah yang hampir sama-kalau tidak boleh dikatakan sama. Misalnya, yang baik itu belum tentu baik menurut-Nya dalam Islam, di Hindu juga ada, rwa bhinneka namanya. Tuhan itu bukan laki-laki dan bukan pula perempuan, serta Tuhan itu selalu bergerak dan bekerja dalam Islam, dalam kontek siwa budha dan taksu di Hindu juga ada. Kalau umat Islam menganut konsep ummatan wahidatan, umat Hindu juga mengakui konsep ini. Satu lagi, di Islam ada istilah da’wah, ternyata umat Hindu juga mengakui konsep ini.Bedanya, da’wah Hindu tidak ditujukan untuk mencari pengikut baru.

Dalam dinamika kehidupan ini penulis lebih suka meminjam istilah ‘becik ketitik, olo ketoro’ dalam al-Quran. Jadi, tidak usah mengkapling surga dengan paspor kemunafikan. Surga itu surga tuhan, tidak ada hak kita mengkapling. Toh tendensi religion ideology formality juga tidak bisa menjamin kita bakal masuk surga. Apalagi polisi syariah, polisi adab dan polisi lainya. Bisa apa mereka? Apa mereka sudah merasa sebagai Tuhan yang bisa men-justifikasi perbuatan kemudian menentukan surga dan neraka mana bagi manusia? lha wong mereka sendiri masih manusia dan masih mencari justifikasi pembenaran kemanusiaanya. Kok aneh-aneh. Padahal man’s justification itu lain dengan God’s justification. Sedari itu, selama para pembuat perda syariat dan per per yang lain tidak bisa menjamin kesurgaan kita kelak tidak usah dipikir susah. Buang energi saja. Lebih baik kita berpikir dan berbicara untuk kepentingan yang lebih umum dan manfaatnya lebih besar, tidak hanya sekedar bagi segelintir, segerombolan dan bagi satu agama saja, melainkan untuk agama dan tentunya negara juga. Wallahu a’lam.

Pacarmu Mantan Pacarku

Jingga senja di bawah kaki langit Alexandria terlihat hampir tenggelam. Desahan angin pantai pinggiran kota Alexandria menyibak kerudung krem Rere dan rambut seset poni Rengga. Rengga dan Rere sepasang kekasih yang malang. Harapan melukis sejarah di altar bumi pesona Cleopatra tinggal kenangan. Asa hanya tinggal asa.

“Kita cukupkan sampai disini, berbagai cara untuk mengantarkan cinta ini sampai ke tujuanya sudah kita coba, tapi nihil.” Rere mengakhiri dialog dengan nada terputus-putus. Rengga hanya tertunduk lesu. Matanya menerawang ke angkasa. Terdengar desahan napas panjang tanda keputusasaan.

Harus diakui, dua tahun lebih mereka jalan, namun tebal dinding tembok tidak bisa runtuh. Restu orang tua kendala utama. Mereka tak sepadan, kata yang pas menurut versi masing-masing orang tua. Satu ada di ujung langit, satunya di dasar bumi. Njomplang. Orang tua kadang memang punya perhitungan sendiri-sendiri, lain dengan anak-anak. Padahal yang anak-anak nikahi bukan orang tuanya, tapi anaknya orang tua. Tapi toh nikah memang bukan hanya menyatukan dua bilah bilangan pecahan jiwa, namun persatuan dan penyatuan dua kutub yang tak diketahui arah kecenderunganya juga. Ya, seperti apa yang di alami Rere dan Rengga. Seribu kali sayangpun hanya berbuah drama menyedihkan. Memilukan.

Keindahan Aleks bagi Rengga menyisakan kenangan tak seindah kotanya pada liburan musim panas term dua, tahun ini. Sepulang dari Aleks hari-harinya dilewati dengan kekosongan. Ia membunuh waktu di dalam kamar. Menghibur diri dengan tumpukan buku. Belum mau aktif terjun di dunia gelanggang organisasi maupun kajian. Masih enggan. Dan hanya buku baginya yang mampu menghibur duka lara menganga tertoreh dikedalaman jiwa. Meski demikian ia bukan tipe cowok budak cinta, tak mau larut dan bersujud menyembah dibawah kaki makhluk bernama cinta. Beda dengan Adiane anak Bali teman serumahnya, dulu. Sekarang sudah pindah.

Nasib Adiane tak jauh beda denganya, ia putus cinta pada liburan tahun ini, cuma dia putusnya di atas puncak bukit Sinai. Masalahnya juga tidak sama, bukan karena orang tua, melainkan selama jalan dengan Adiane, Laila, pacaranya, merasa tidak menemukan apa-apa pada diri Adiane. Tiada inspirasi dan motivasi dalam benak Laila, cinta juga tidak muncul-muncul. Ia tidak merasakan ada yang istimewa dengan kehadiran Adiane di hati Laila. Versi Adiane cerita kepada Rengga via telpon seminggu lalu. Sebelum akhirnya putus total, Adiane masih membudakkan diri berharap cinta Laila tumbuh. Sebab, dulu Laila janji belajar mencintai Adiane.

Rengga tidak tahu siapa Laila. Dia cuma tahu kalau Laila wanita berwajah oval putih. Tinggi standard, seratus enam puluh senti meter. Cakap berbicara, vokal berorasi, serta selalu menunduk ketika jalan. Beda dengan Rere, ia wanita bercadar yang matanya gentayangan melihat segala fenomena ketika sedang berjalan. Ia cantik, lembut dan pengertian. Tidak ngelunjak kepada laki-laki dan tahu menghargai perasaan orang. Tapi ya itu, sebenarnya matanya selalu gentayangan ketika jalan, melihat fenomena sekeliling. Pengakuan Rere kepada Rengga. Versi Rengga cerita ke Adiane. Mahasiswa Mesir biasa memanggil wanita bercadar seperti Rere dengan sebutan ninja. Karena wajahnya tertutup nikop, hanya matanya yang kelihatan. Telapak tangannyapun tertutup sarung tangan. Bahkan, kadang-kadang, matanya tidak kelihatan karena mereka pakai nikop yang pada lubang matanya ada kain seperti jaring ikan. Ada banyak motif mereka pakai cadar. Karena menjaga fitnah, raut muka jelek, ada flek di wajah, biar steril dari debu, dan ada pula yang disuruh cowoknya serta karena benar-benar cantik dan tidak ingin ditembak. Cadar sebagai penangkalnya. Rere? Tak diketahui motif dia sembunyi di balik cadar.

Sejak jadian tanggal 14 februari tahun lalu, Rengga belum pernah lihat Laila pacar Adiane, pun juga Adiane tidak pernah tahu siapa itu Rere pacar Rengga. Mereka hanya mengenal keduanya dari cerita masing-masing. Jadian bersamaan, putus juga bersamaan. Yang jelas bukan kebetulan tapi sebuah kesengajaan dari yang menyengaja.

@@@

Bila bunga cinta gugur layu terkulai tak selamnya harus memakan masa dan termakan busa biusan kata-kata indah masa silam. Tak boleh ada niat untuk selalu terluka dan berduka. Tak usah lama-lama tergugu. Gersang gurun harus di siram rembesan oase padang pasir. Buang keruh untain kenangan masa silam. Cinta tidak harus terus meraju hiba tak ketemu makna. Tidak patut diturutkan hati marah. Karena cinta sudah lumrah jika kadang bersulam air mata. Bukan harus berkeras hati menutup pintu rapat-rapat sapa mentari pada lembayung kuning dan bening embun pagi. Selembar duri beracun harus dicarikan penawar. Bila niatan luhur ditabur terkubur, maka harus disingkap tumbukan tanah kubur untuk menyemai budi kasih sejati pada bidak tanah subur lain. Putus bercerai dalam dunia cinta bukan hal luar biasa, tapi biasa. Sudah sunah semesta. Dari dulu sudah ada dan banyak yang mengalami. Bukan pula merupakan satu kewajiban mencintai satu cinta. Jika satu sulit ditelan, berpindah pada berikutnya bukan sebuah kehinaan. Segala siksaan harus terlepas. Kesunyian bukan hal terindah karena sulit dilalui. Sementara di sepetak sana masih ada tangan melambai siap menggantikan segala impian terpendam. Harus disambut agar terlepas dari beban siksa lalu meski harus membunuh kenangan. Sayap impian harus mampu menerbangkan dan membawa cinta pada bingkai istana keabadian. Yang dulu sudah berlalu, tinggal kenangan. Datang dan pergi memang sesuka hati. Cukup sudah derita dan sengsara dialami. Begitu putusan Rengga dan Adiane. Laila dan Rere harus direlakan pergi dari biduk hati masing-masing.

Yanti, sebuah nama yang mampu menggetarkan hati Rengga kali kedua. Wajahnya oval putih bersih. Tinggi standard, seratus enam puluh senti meter. Cakap berbicara, vokal berorasi, serta selalu menunduk ketika jalan. Persis Laila mantan Adiane. Begitu Rengga menyimpulkan Yanti. Yanti lah yang selama dua minggu terakhir ini selalu kirim sms membangunkannya tahajud. Bahkan, kadang, sms nya ajak Rengga tahajud berjama’ah. Yanti, sebuah nama yang mampu membobol rapat gawang cinta Rengga kali kedua setelah kepergian Rere gadis bercadar.

Dwi, gadis bercadar. Setiap malam selalu membangunkan Adiane untuk munajat malam. Atau hanya sekedar menanyakan hafalan al-qur’an. Kalaupun tidak telpon karena pulsa habis, minimal dia selalu kirim please call me. Dwi, wanita kedua yang mampu memamah lembut-lembut keras hati adiane. Dia kini yang bertahta di hati Adiane menggantikan Laila. Ia wanita bercadar yang matanya gentayangan melihat segala fenomena ketika sedang berjalan. Ia cantik, lembut dan pengertian. Tidak ngelunjak kepada laki-laki dan tahu menghargai perasaan orang. Tapi ya itu, sebenarnya matanya selalu gentayangan ketika jalan, melihat fenomena sekeliling. Mirip Rere gadis bercadar mantan Rengga. Namun demikian dia telah melumpuhkan Adiane. Adiane berlutut dibawah terang sinar yang ditawarkan Dwi. Dwi, wanita yang mampu menumbangkan kokoh bangunan cintanya kali kedua setelah kepergian Laila.

“Ngga, aku dengar kamu dapat ganti Rere,” tanya Adiane via telpon rumah suatu hari, “ bahkan, katanya kamu sudah minta kepada orang tuanya, betul kan?” tambah Adiane.

“Iya, bener.” Jawab Rengga singkat, “oya, katanya kamu juga dapat ganti Laila dan sudah minta kepada orang tuanya di Indonesia juga?” Rengga balik bertanya. “ Bagaimana kalau pada liburan musim dingin term satu tingkat dua tahun ini kita sama-sama ikut tour ke Luksor dan bawa dewi pengganti kita masing-masing, katamu pacar barumu mirip mantanku?” belum sempat Adiane jawab, Rengga sudah menawarkan usulan.

“Iya, betul. Ok, aku setuju dengan idemu. Aku juga penasaran, kamu bilang dewimu mirip mantanku.” Sahutnya mengiyakan sambil menutup gagang telpon setelah mengakhiri dialog dengan salam.

@@@

14 februari pagi jam tujuh pagi. Suasana pagi di bawabat begitu lengang. Tidak begitu ramai dan berisik. Cuaca pagi mendukung, cerah meski dingin. Semua peserta tour sudah kumpul, termasuk Rengga dan Yanti. Tinggal menunggu Adiane dan Dwi. Rengga dan Yanti senyam-senyum bediri disamping mobil East Delta Travel. Menunggu Adiane dan Dwi bersama peserta rombongan lain.

Lamat-lamat dari kejauhan Adiane muncul bareng wanita bercadar hitam. Rengga dan yang lain nampak bahagia karena yang ditunggu-tunggu datang. Berarti segera berangkat. Sejenak kemudian Adiane mendekat mobil. Yanti naik mobil meletakkan tas, agak lama. Adiane tersenyum kepada Rengga. Bangga dengan apa yang ada disampingnya.

“Ngga, kenalin, ini dia Dwi gadis bercadar yang sudah aku minta ke orang tuanya.” “Dwi, ini rengga teman karibku.” Adiane mengenalkan Dwi.

“Rengga.”

“Dwi.” Keduanya saling berkenalan.

Namun, seketika Rengga diam mendengar suara Dwi. Berpikir. Sepertinya suara itu akrab ditelinganya. Rere, ya Rere mantan kekasihnya. Tapi kok namanya Dwi, bukan Rere?

“Nama lengkapnya mbak Dwi?” Si empunya nama hanya menunduk. Bukan tidak hirau dengan tanya Rengga, namun ada sesuatu yang mengganjal. Adiane dan Rengga hanya bengong saling pandang. Bisu.

“Eh, Adiane, kamu ikutan juga ya?” Yanti tiba-tiba turun dari mobil menyergah bertanya memecah kebisuan. Bukannya menjawab, Adiane malah tambah bengong. Matanya tidak mungkin salah. Dia tahu wanita di depannya adalah Laila. Tapi masih ragu.

“Adiane, kenalin, ini Yanti yang kubilang padamu kapan hari.” Rengga mengenalkan Yanti pada Rengga. Namun Adiane tambah bengong. Yanti, bukannya Laila? Pikiranya bertanya-tanya.

“Iya, Yanti, Laila Damayanti lengkapnya. Maaf aku dulu cuma sebutin Laila ke kamu.” Yanti berseloroh seolah-olah tahu kebengongan Adiane.

Dulu cuma sebutin Laila? Adiane berpikir. Dia juga semakin bengong. Dwi tidak jawab ditanya nama lengkap, Yanti pacar barunya malah sebutin nama lengkapnya Laila Damayanti. Jangan-jangan pacarnya Adiane dulu?

“Nama lengkapku…..” Dwi gadis bercadar behenti sejenak. Tidak diteruskan kata-katanya. “Nama lengkapku Rere Dwi Anggraini” akhirnya Dwi menjawab tanya Rengga tadi.

Hening, tak ada suara setelah itu. Semua diam. Hanya bisik angin pada mentari mengangkat kisah lama. Kini Rengga sadar. Dia tahu kalau Dwi adalah Rere mantan pacarnya dulu. Adiane juga tahu kalau Yanti adalah Laila mantannya dulu juga. Keduanya senyum simpul dan saling mendekat berbisik.

“Pacarmu mantanku.”

“Sama, pacarmu juga mantanku”

Ha..ha..ha. kedunya terlawa lepas. Para peserta tour hanya diam bengong. Heran. Semenatara Adiane dan Rengga masih tertawa lepas. Terpingkal-pingkal memegangi perut. Yang jelas semua ini bukan kebetulan tapi sebuah kesengajaan dari yang menyengaja.

Asrama damai, 16-02-07

Hiba Cintaku

Terbangun dari siluet semu

Meratap pias wajah pilu

Menghiba belas berpadu

Mereda amarah berkeliaran di kalbu

Sasaran akan kelindan memagu

Menaut satu merajut beribu

Mengharap asa di pelataran berdebu

Menyapu musykilah tangan tak perpadu

Ya Rabbi. Ya Karim!

Bilakah cucuran hiba diperuntukkan

Gentong airku kering menyanyi bertautan

Gugusan makna memecah gelas dipergunakan

Bersabda kekal kaki melangkah

Ya ‘Alim, Ya Karim!

Saat debar kobar bara api cinta-Mu membara

Kobar bara rinduku meredup

Ketika bangkit rindu-Mu semakin menyapa,

Jatuh luluh cintaku tertelungkup

Adakah kiasan makna terpendam?

Di hamparan lafaz panjang dalam keremangan

Di atas bingkai kado yang kukirimkan

Di dalam parsel yang kualamatkan

Adakah semua salah tak beralamatkan?

Bila hiba harus raga diperturutkan

Kutitahkan nyawa sebagai kawalan

Kuhiasi benda berharga sebagai pepaesan

Kutaburkan kembang doa diperjalanan

Tidak agar orang memuji

Tidak agar orang berbudi

Tidak juga agar orang pada mengabdi

Hanya agar terpaut kuat cinta-Mu dihati

Asrama Retak, 06-04-06