Friday, October 12, 2007

“Menikam” al-Qur’an dengan Sastra;

(Usaha Untuk Mencari “Makna Lebih” dari al-Qur’an)*


Mukaddimah

SUDAH jamak diketehaui bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat nabi Muhammad. Namun seiring dengan perkembangan zaman, maka perlu rasanya sedikit mengungkap “makna lebih” yang tersirat dari kitab tersebut: baik dari sisi harfiyah maupun bathiniyah. Maksudnya tiada lain adalah, I’jaz bisa saja diraba melalui teks luar ataupun dari dalam teks itu sendiri. Ada satu pemahaman dimana sebagian ulama klasik melihat I’jaz teks dari luarnya saja (menyamakan teks dengan teks lain seperti puisi dan sajak, atapun prosa). Pendapat mereka ini mengacu pada stililistik, phrase, dan sajak yang tesirat hitam di atas putih. Namun, pendapat ini dibantah oleh kelompok yang mengatakan jika dilihat dari sisi stililistik, phrase dan sajaknya saja maka, akan ada kejumudan teks ketika harus berdialektika dengan realitas. Sedari itu, untuk mengintai makna lebih dari al-Qur’an tidak hanya harus dari sesi luarnya saja, melainkan turut juga dari dalam. Hingga kini perseteruan keduanya belum berujung. [1]

Meski demikian, ada hal yang menggelitik dan sepertinya layak untuk digugat guna mencari “makna lebih” dari teks melalui jendela sastra. Di sini, bukan berarti menjadikan sastra sebagai tolak-ukur makna I’jaz teks karena al-Qur’an mempunyai segi yang lebih unggul dibandingkan teks lain. Akan tetapi mecoba menyibak celah sedikit untuk mengintai makna lebih dari teks melalui kaca mata sastra dengan menjadikan sastra hanya sebagai medium saja, bukan tolak ukur. Nah, dengan pemahaman seperti ini, teks coba didekati melalui kebebasan seni. Pun juga, sastra yang dimaksud di sini tidak terikat pada bingkai makna sastra sebagai puisi dan sajak, melainkan makna sastra “secara luas” yang tidak hanya terbatas pada puisi dan sajak saja. Pemahaman seperti ini berangkat dari keprihatinan akan sebuah realita dimana teks pada abad belakangan ini cenderung mati dan tidak bisa berdialektika menjawab tantangan zaman. Teks hanya diam bagaikan unmoving matter yang terperangkap dalam ruangan sempit yang “pengap” di bawah temaram bola lampu 5 watt. Padahal, teks sebagai rujukan pertama dalam justifikasi berbagai masalah. Selain itu, al-Qur’an juga sebagai sumber hukum yang seharusnya langgeng dan sesuai dengan perkembangan zaman. Maka, salah satu ayat al-Qur’an yang coba didekati lewat metode ini ayat kedua dari surat pertama: al-Fâtihah.

Telisik Makna Ayat

Guna memulai bahasan ini, penulis elegan untuk mengkaji ayat kedua dari surat al-Fâtihah. Kiranya ayat tersebut pantas untuk dijadikan bahan kajian dan renungan. Sebab, selama ini orang hanya menikmati ayat ini terbatas dari segi stililistiknya; mengaguminya serta mensakralkanya namun di balik itu mereka cenderung menelantarkannya tanpa pernah mecoba untuk mengurai makna yang terkandung dalam untaian kata-kata indahnya. Tak salah bila sikap acuh tak acuh terhadap riset al-Qur’an menimbulkan semacam “kematian ayat”. Padahal, risetlah yang menjadikan segalanya bermakna; risetlah yang menjadikan teks al-Qur’an (dan juga hadith) itu mampu hidup. Tanpa riset, seluruh teks akan terasa kaku dan mati. Bukan al-Qur’an dan Allah yang salah bila teks tidak bisa menjawab persoalan umat dan dunia, melainkan manusianya sebagai pelakunya, dia lah yang salah dan patut disalahkan. Namun sebelum memaknai ayat kedua al-Fâtihah lebih lanjut, terlebih dahulu di sini menyinggung aspek pemaknaan menurut sudut pandang para ulama klasik.

Kata “al-hamd-u” dalam pembuka surat al-Fâtihah oleh Imam Zamakhsari disinonimkan dengan “al-madh-u” (pujian, dan “al-madh-u” mempunyai lagi persamaan seperti “al-tsanâ-u” dan “al-nidâ’” ) terhadap Dzat Tuhan bagi segala nikmat yang Ia berikan, tidak sebatas pada makna syukur karena syukur adalah lafadz khusus yang diekspresikan lewat hati dan perbuatan. Sementara “al-hamd-u” lebih luas dari itu.[2] Imam Zamakhsari tidak menelisik makna kata setelahnya, akan tetapi langsung loncat kepada lafadz terahir, yakni “al-`âlamîn”. Ia mendefinisikan makna kata “al-`âlamîn”. Sebagai sebuah nama yang mempunyai pengetahuan tentang segala hal pada makhluknya. Singkatnya, lafadz itu terbentuk dengan sifat yang ada di dalamnya: yakni, yang menunjuk makna pengetahuan.[3] Imam Zamakhsari hanya berhenti disitu tanpa memberi penjelasan lebih rinci.

Pemaknaan Imam Zamakhsari terhadap kalimat “al-hamd-u” sama dengan Imam Ali Shabuni. Akan tetapi dia berbeda dengan Zamakhsyari dalam definisi makna “al-`âlamîn”. Imam Ali Shabuni mendefinisikannya sebagai semua makhluk: baik yang ada di bumi dan langit; berbentuk atau tidak berbentuk dan; yang nyata dan tidak nyata.[4] Dari pandangan kedua ulama tadi terlihat begitu mencolok karena Imam Zamakhsyari berangkat dari analisa bahasa sedangkan Imam Ali Shabuni tidak. Ayat kedua dari surat al-Fâtihah itu bila diterjemahkan kedalam bahasa kita Indonesia, “segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.” Selain dua ulama tersebut, juga ada ulama lain seperti: Abu Farra dan Abu Ubaidah yang membatasi makna “al-`âlamîn” hanya pada sesuatu yang berakal. Ini berarti binatang tidak termasuk dalam klasifikasi.

Bila sudi berhenti sejenak dalam memahami teks tadi, dan coba kita merenung sekejap, maka akan ditemukan sebuah kejumudan dan kematian terhadap makna teks. Karena teks tadi hanya sebatas indah pada stililistik, phrase, dan sajaknya saja, sementara tidak ada hal baru yang bisa diambil kecuali ayat itu “terlantar” tanpa pernah mencoba mengadakan interpretasi-ulang agar ada rekonstruksi pemaknaan dengan tujuan memberanikan diri minyingkap apa sebenarnya “makna lain” yang terkandung dari ayat ber-genre Ilahiyat tersebut. Padahal dalam pandangan Rafi’ie, asas pertama dalam sastra yang benar adalah mampu menciptakan tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Menyelam Ke Dalam Ayat

Sekarang coba menggunakan bahan bangunan dari seni sastra, dimana makna interpretasi ayat dari ulama klasik untuk sementara disimpan dengan memberikan makna “al-`âlamîn” sebagai “Dzat Yang Mahatahu” bukan makhluk sebagaimana dipahami selama ini. Setelah dianologikan dan diurai dari lafadz pertama sampai “al-`âlamîn”. Dengan begini mari kita mencoba melangkah sedikit ke depan.

Dalam buku “Nadzriyah Adab al-Mu`âsirah” karangan Roman Selden, Roman ini menjelaskan bahwa antara penulis dan pembaca ada keterikatan baik melalui kode kata, tulisan, dan kontak interaksi keduanya. Selain itu, ia juga menjelenterehkan bahwa penulis sebagai daya agitasi kepada penerima melalui penuturan, perasaan dan keterangan.[5] Mengacu pada teori ini, maka coba sekali lagi menelaah makna-makna terdahulu dari ulama klasik. Apakah ada semacam agitasi, hasutan, ataupun keterikatan baik melalui kode, tulisan, dan penuturan antara pemilik teks dan pembaca teks?

Bandingkan jika mencoba memaknai teks lafadz tadi sebagai Dzat Yang Mahatahu, maka secara langsung bisa diambil benang merah dan hikmah yang lebih tinggi dari pemaknaan yang pertama. Benang merah itu adalah, mengakui bahwa Allah adalah Dzat Yang Mahatahu maka Dia harus dihormati dan dipuji, karena Allah mempunyai sifat Mahatahu, sewajarnya bila mahkluk ciptaan-Nya terutama manusia mengikuti petunjuk dari teks itu dengan mengedepankan anggapan bahwa teks itu untuk manusia bukan untuk Allah dan Allah di situ hanya sebagai symbol yang patut dicontoh. Selain itu, Allah disembah karena dia Dzat Mahatahu, sedari itu jika ingin dihormati dan dipuji maka harus berilmu. Semacam ada hikmah dan hukum yang terkandung didalamnya dengan menafsirkan ayat seperti ini. Dan, ini semua sangat berguna bagi manusia, sebab manusia bisa mengambil sesuatu yang berharga selain pemahaman Ilahiyat teks tadi. Lebih luas dan tidak sempit serta terbatas.

Apa yang dipaparkan ini sesuai dengan asas bangunan sastra yang diungkapkan oleh Rafi’ie, dia mengatakan bahwa sastra yang benar (Arab: al-haq) adalah sastra yang memberikan kebaikan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat, tidak membodohkan serta membimbing ke arah progresifitas bukan regresifitas, itu yang pertama. Dan kedua: menggali makna I’jaznya melalui kajian terhadap pembuat karya dan seni karyanya.[6] Pola pemahan seperti ini berarti tetap menjaga universalitas al-Qur’an karena kitab suci itu memang harus selalu universal dan cocok dengan kehidupan makhluk selamanya sebagai karya sastra yang agung.[7] Kebenaran ini relatif, bisa salah dan benar. Karena semua mahluk pada hakekatnya hanya mencoba mendekati makna teks untuk mengetahui makna yang sebenarnya dari sangat pembuat teks. Wallâh-u A`lam-u bi al-Shawâb.

IKBAL, 27 Februari 2007



* Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi SUKSES, 28 februari 2007.

** Mahasiswa Ushuluddin Al-Azhar University Tk. II. Sekarang menjadi peneliti lepas di AC (AVERROES Community) program “Proyek Kongkret Humanisme”.

[1] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, ter: Khoiron Nadliyin, Yogyakarta: LKIS, cet. I, 2001, hal. 184-210

[2] Imam Zamakhsyari, al-Kassyâf, juz I, Cairo: Maktabah Misr, (tanpa tahun), hal. 15-16

[3] Ibid., hal. 17

[4] Ali Shabuni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, juz I, Cairo: Dar al-Shabuni, cet. I, 1999, hal. 17-19

[5] Selden Roman, Nadzriyah Adabiyah al-Muâ`sirah, ter: Jabir Usfur, Cairo: Dâr al-Fikr, cet. I 1991, hal. 17

[6] Hijazi Shabir Jalal, Fî al-Âdâb al-Islâmî, Cairo: Dâr al-Kutub, cet. I, (tanpa tahun), hal. 53

[7] Ibid., hal. 13

No comments: